Membangun Keshalihan Sosial di Atas Keshalihan Individu
Azwar Iskandar, Alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
(STAN)
Muqaddimah
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di
dunia. Terdapat ratusan ribu bahkan jutaan masjid dan mushalla yang
bertebaran di kota-kota, desa-desa sampai di tempat-tempat pendidikan,
perkantoran, pusat perbelanjaan dan lainnya.
Masjid atau mushallah adalah salah satu simbol keberagamaan umat
Islam. Fenomena ritualistik dapat kita dapatkan di sana. Pada saat-saat
tertentu fenomena tersebut begitu marak. Pada bulan Ramadan misalnya,
tempat-tempat tersebut ramai dihadiri kaum muslimin untuk mengikuti
salat tarawih.
Mereka juga menyambut bulan ini dengan berbagai macam agenda di luar
puasa yang wajib mereka tunaikan. Mereka banyak menghabiskan waktunya
untuk membaca dan mentadabburi Al Qur’an. Berbagai macam ibadah
tathawwu’ (tambahan) mereka kerjakan unutuk meraup berkah di bulan ini. Dan pada akhir ramadhan mereka membayar kewajiban zakatnya.
Lain lagi pada musim haji, setiap tahun jumlah kaum muslimin yang
menunaikan ibadah haji mencapai ratusan ribu orang dan kerap melebihi
quota yang diberikan. Sedangkan orang – orang yang belum mampu
menunaikan haji namun memiliki sedikit kelebihan harta, menyembelih
hewan kurban untuk kemudian disalurkan kepada yang lainnya.
Beberapa contoh/fenomena keberagamaan kita di atas dapat memberikan
kesan umum bahwa masyarakat muslim di Indonesia adalah masyarakat yang
taat beragama sekaligus masyarakat dengan individu-individu yang shalih.
Dalam pandangan masyarakat kita umumnya, keshalihan individual menjadi
ukuran kualitas keberagamaan seseorang. Atau dapat dikatakan bahwa
intensitas seseorang dalam menjalankan ritus-ritus agama menunjukkan
nilai keshalihan atau kebaikan pribadinya. Semaikin tinggi intensitasnya
maka semakin tinggi pula nilai keshalihan pribadinya.
Dalam ajaran agama Islam, berbagai jenis ibadah yang kita laksanakan
tidak hanya terbatas pada dimensi fardiyah saja, tetapi ada dimensi lain
sebagai resultan dari ubudiyah itu sendiri yakni dimensi sosial
(sebagaimana akan diuraikan nanti). Secara normatif, keshalihan dalam
ibadah-ibadah fardiyah seharusnya melahirkan realitas-realitas sosial
yang shalih (baik) pula. Akan tetapi realitas Indonesia sampai hari ini
adalah sebuah kondisi yang sungguh sangat menyedihkan.
Praktek hidup dan berkehidupan masyarakat memperlihatkan kondisi yang
berlawanan dengan norma-norma agama. Realitas Indonesia adalah bangsa
dengan kemiskinan yang besar, bangsa dengan tingkat korupsi yang tinggi
di dunia, bangsa yang marak dengan kekerasan kemanusiaan, pelecehan
seksual, pembunuhan, konflik berdarah, narkoba dan sejumlah pelanggaran
lainnya yang terjadi hampir setiap hari dan di banyak tempat.
Kesimpulannya adalah perilaku yang paradoks.
Ibadah individual seperti shalat, puasa, zakat, haji, membaca Al
Qur’an, zikir dan sejenisnya yang bergemuruh itu ternyata tidak atau
belum merefleksikan makna keshalihan sosial yang berarti dalam kehidupan
masyarakat muslim. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah adakah yang
salah dalam pemahaman masyarakat terhadap makna ibadah yang diajarkan
agamanya?
Makna Ibadah
Ibadah secara etimologi berarti merendahkan diri serta tunduk. Secara
syara’ arti ibadah sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikul Islam Ibnu
Taimiyah, adalah istilah yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan
diridhai Allah Subhanahu wa Ta'ala , baik berupa ucapan atau perbuatan,
yang zhahir maupun yang batin. Ini adalah definisi ibadah yang paling
lengkap.
Ibadah inilah yang menjadi tujuan penciptaan manusia. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا
لِيَعْبُدُونِµ﴿٥٦﴾µمَا أُرِيدُ مِنْهُمْ مِنْ رِزْقٍ وَمَا أُرِيدُ أَنْ
يُطْعِمُونِµ﴿٥٧﴾µإِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ
الْمَتِينُµ﴿٥٨﴾µ
artinya :
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari
mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan.
Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan
lagi Sangat Kokoh." (QS. Adz Dzariyat : 56-58).
Allah Subhanahu wa Ta'ala memberitahukan, hikmah penciptaan jin dan
manusia adalah agar mereka melaksanakan ibadah kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala . Dan Allah Mahakaya, tidak membutuhkan ibadah mereka, akan
tetapi merekalah yang membutuhkannya; karena ketergantungan mereka
kepada Allah, maka mereka menyembahNya sesuai dengan aturan syari'atNya
yakni dengan mengIkhlaskannya karena Allah semata, bebas dari syirik
besar dan kecil dan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam.
Jadi, Ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan jika diniatkan qurbah
(mendekatkan diri kepada Allah) atau apa-apa yang membantu qurbah.
Bahkan adat kebiasaan (yang mubah) pun bernilai ibadah jika diniatkan
sebagai bekal untuk taat kepadaNya. Seperti tidur, makan, minum,
jual-beli, bekerja mencari nafkah, nikah dan sebagainya. Berbagai
kebiasaan tersebut jika disertai niat baik (benar) maka menjadi bernilai
ibadah yang berhak mendapatkan pahala. Karenanya, tidaklah ibadah itu
terbatas hanya pada syi'ar-syi'ar yang khusus atau mahdhah saja.
Ibadah Individu dan Sosial
Pemahaman sebagian kaum muslimin saat ini, ketika disebut ibadah maka
yang tergambar adalah shalat, puasa, zakat, haji, zikir dan membaca Al
Qur’an. Pemahaman ini tentu saja mereduksi secara besar-besaran makna
ibadah dalam pengertiannya yang genuine sebagaimana di atas. Ketika
Allah menyatakan dalam firmanNya :
قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَµ﴿١٦٢﴾µ
artinya : "
Katakanlah : Sesungguhnya salat, ibadah, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam” (QS. Al An’am : 162) ;
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِµ﴿٥٦﴾
artinya :
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepadaku” (QS.Al Dzaariyat : 56-58) ;
فَاعْبُدْهُ وَاصْطَبِرْ لِعِبَادَتِهِ ۚ﴿٦٥﴾µ
artinya :
” ... maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadah kepada-Nya (QS. Maryam : 65) ;
أَمَّنْ هُوَ قَانِتٌ آنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ ۗ µ﴿٩﴾µ
artinya : ”
orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan
sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan
mengharapkan rahmat Tuhannya (QS. Az Zumar : 9)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي
السِّلْمِ كَافَّةً وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ
لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌµ﴿٢٠٨﴾µ
artinya : ”
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam
Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah
setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS. Al Baqarah : 208),
dan ayat-ayat yang lainnya, maka makna ibadah tersebut tidak mungkin
hanya berarti shalat, puasa, zakat, haji, berzikir, membaca Al Qur’an
dan sejenisnya. Hal ini karena kehidupan yang diciptakan bagi manusia
tidak mungkin hanya berurusan dengan hal-hal tersebut saja, melainkan
untuk hal-hal yang menyeluruh, mencakup seluruh aspek kehidupan yang
dibutuhkan manusia seperti ekonomi (berdagang), pertanian, industri,
bekerja, mencari ilmu dan sebagainya guna mempertahankan dan
mengembangkan kehidupan itu sendiri.
Adalah juga aksiomatik bahwa manusia tidak mampu hidup sendiri tanpa
orang lain yang membantu dan menolong. Dan semua itu merupakan hal-hal
yang niscaya dan menjadi bagian dari misi agama Islam yang dengannya
kita beribadah. Maka, tataran ibadah dalam aplikasinya tidak hanya
terbatas pada aspek individual, tetapi juga pada aspek sosial. Yang
kemudian kita istilahkan sebagai ibadah individual dan ibadah sosial.
Kualifikasi Kesalihan .
Tingkat keshalihan individu (pribadi) seorang muslim bisa diukur dari
sejauh mana kualitas ibadah individu yang ia kerjakan. Kualitas ini
dapat dilihat dari sejauh mana ia menjaga dan memperbaharui agar
ibadahnya dikerjakan dengan penuh keikhlasan, sesuai dengan sunnah
(ittiba’) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, memahami dalil-dalil
yang mendasari ibadah sesuai dengan apa yang dipahami oleh generasi
awal (salaf) terbaik umat ini dan istiqomah dalam menjalankannya.
Dalam hadits yang cukup panjang, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam juga menyebutkan aspek kualitatif sebuah ibadah dapat dilihat
dari sejauh mana ia bersikap ihsan , yaitu sikap dalam beribadah
seolah-olah ia melihat Allah dan jika tidak bisa –dan memang tidak bisa-
seperti itu maka ia yakin bahwa Allah melihatnya.
Jika tahapan seperti ini mampu dilalui maka bisa dikatakan bahwa
secara pribadi ia telah memiliki kualifikasi keshalihan individu.
Sebagaimana yang kita ketahui, Islam adalah agama yang ditujukan
untuk memberikan rahmat bagi semesta alam. Dan misi keberadaan kita di
dunia ini tiada lain kecuali menjadi rahmat bagi semesta alam. Allah
Subhanahu Wa Ta’ala berfirman, artinya : “Dan tiadalah Kami mengutus
kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” (QS. Al
Anbiya’ : 107).
Rahmat dalam pengertian menebarkan kasih sayang dan memberikan
manfaat yang sebesar-besarnya bagi sesama makhluk ciptaanNya. Sehingga
tentunya keshalihan yang bersifat pribadi seperti di atas belumlah
cukup. Ada kualifikasi kesalihan lain yang harus dimilki untuk
menjalankan misi tersebut yakni kesalihan sosial.
Efek Ganda Kesalihan Individu
Nash-nash syar’i yang berkaitan dengan urusan ibadah individual
selalu memperlihatkan fungsi dan tugas ganda. Di satu sisi ia merupakan
cara manusia untuk bertaqarrub kepada Allah Sang Khalik, menjadi media
untuk tazkiyah an-nafs dan membebaskan diri dari ketergantungannya
kepada selainNya. Tetapi pada saat yang sama ia juga berimplikasi secara
horisontal dalam melakukan tanggungjawab sosial dan kemanusiaan.
Dalam hal shalat misalnya, Allah Subhanahu Wa ta’ala berfirman :
وَأَقِمِ الصَّلَاةَ لِذِكْرِيµ﴿١٤﴾µ
artinya :
“Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku” (QS. Thaha : 14);
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِµ﴿٤٥﴾
artinya :
“Sesunguhnya shalat mencegah manusia dari berbuat keburukan dan kemungkaran”. (QS. Al Ankabut : 45).
Shalat melatih manusia untuk selalu merasa dalam pengawasan Allah
(muroqobah) sehingga dalam kehidupan sehari-hari juga akan merasa
diawasi oleh Allah sehingga akan takut untuk melakukan perbuatan
kejahatan.
Hal ini juag diungkapkan dalam firmanNya, artinya : “
Apakah
kamu mengetahui orang yang mendustakan agama?. Itulah orang yang tidak
perduli terhadap anak yatim, tidak memberikan makan kepada orang miskin.
Maka celakalah orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai
dari shalatnya, yakni orang yang riya dan orang yang tidak mau
memberikan sesuatu yang berguna (bagi orang lain)”. (QS. Al Ma’un : 5 – 7).
Maka dengan demikian semakin baik shalat seseorang (seharusnya)
semakin baik pula amal sosialnya, semakin peka terhadap
persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakatnya dan tidak menimbulkan
keburukan dan kerusakan bagi sesamanya.
Puasa, di samping merupakan ibadah yang diperintahkan oleh Allah
Subhanahu Wa ta’ala, ia juga merupakan cara bagi diri manusia untuk
dapat mengendalikan kecenderungan-kecenderungan egonya yang seringkali
menuntut dan mendesakkan kehidupan hedonistik.
Dalam Al Qur’an dinyatakan dengan sangat jelas bahwa puasa ramadhan
diwajibkan kepada orang-orang yang beriman sebagai cara untuk membentuk
dan melahirkan pribadi-pribadi yang bertaqwa.(Q.S. Al Baqarah 183).
Pribadi yang bertaqwa adalah pribadi yang selalu menjaga diri dari
menyakiti orang lain, menghalangi dan merampas hak-hak orang lain pada
satu sisi, dan pribadi yang menyayangi, mengasihi dan menghormati
hak-hak orang lain.
Zakat, dinyatakan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagai
cara membersihkan diri dari kesalahan dan dosa, aksi pemberian makan
bagi orang-orang miskin dan orang-orang yang menanggung beban hidup yang
berat, yang tertindas dan yang menderita lainnya. Dalam bahasa yang
lebih umum zakat merupakan bentuk paling nyata dalam mewujudkan
solidaritas sosial dan kemanusiaan.
Haji, di samping dimaksudkan sebagai bentuk penyerahan diri secara
total kepada Allah Azza Wa Jalla dan tanpa reserve, ia juga melambangkan
kesatuan, kesetaraan dan persaudaraan umat manusia sedunia.
Dimensi Kesalihan Sosial
Dimensi kesalihan sosial dalam Islam sesungguhnya jauh lebih luas dan
lebih utama dibandingkan dengan dimensi kesalihan invidu. Dalam
teks-teks fiqh klasik kita dapat melihat bahwa bidang ibadah individu
merupakan satu bagian dari banyak bagian atau bidang keagamaan lain
seperti Mu’amalah , Hukum Keluarga (
Al Ahwal Al Syakhshiyyah), Jinayat (pidana), Qadha (peradilan) dan Imamah (politik).
Dan terkadang kesalihan sosial yang memiliki dimensi yang lebih luas
lebih utama dibanding kesalihan individu atau personal. Dalam sebuah
kaedah fiqh disebutkan :
Al Muta’addi Afdhal Min Al Qashir (Amal ibadah yang membawa efek lebih luas lebih utama daripada amal ibadah yang membawa efek terbatas).
Dari sisi lain, keshalihan individual selalu menuntut lahirnya
efek-efek keshalihan sosial. Ketika ritus-ritus personal tersebut
(ibadah individual) tidak melahirkan efek keshalihan sosial dan
kemanusiaan, apalagi melahirkan sikap-sikap hidup negatif atau
destruktif terhadap kepentingan sosial kemasyarakatan, maka untuk tidak
mengatakan sebagai kesia-siaan, maka ia dapat dikatakan sebagai sebuah
kebangkrutan dalam agama.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah menyinggung persoalan ini dalam sabdanya : “
Apakah
anda tahu siapa orang yang bangkrut?. Para sahabat nabi mengatakan
:orang yang bangkrut di antara kami adalah orang yang tidak punya uang
dan harta benda. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Orang
yang bangkrut dari kalangan umatku adalah orang yang datang pada hari
kiamat dengan membawa amalan-amalan ibadah shalat, puasa dan zakat.
Tetapi pada saat yang sama ia juga datang sebagai orang yang pernah
mencacimaki orang lain, menuduh orang lain, makan harta orang lain,
mengalirkan darah orang lain, memukul orang lain. Maka orang-orang lain
tersebut (korban) akan diberikan pahala kebaikan dia (pelaku/al muflis).
Ketika seluruh kebaikannya habis sebelum dia dapat menebusnya, maka
dosa-dosa mereka (para korban) akan ditimpakan kepadanya (pelaku),
kemudia dia akan dilemparkan ke dalam api neraka”. (HR.Muslim dan Tirmizi dari Abu Hurairah).
Dalam hadits disebutkan bahwa ibadah individual seperti shalat
(berjamah) dapat dipercepat ketika seorang imam mengetahui ada makmum
yang lemah, orang tua atau sakit.
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pernah bersabda : “
Jika
seseorang menjadi imam shalat bagi orang lain, maka hendaklah
mempercepat shalatnya, karena di antara para makmum boleh jadi ada orang
yang lemah, orang yang sakit dan orang tua. Jika dia shalat sendirian
maka ia berhak berlama-lama”.( HR. Bukhari dan Muslim).
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam juga pernah bersabda : ”
Aku
betul-betul ingin shalat berlama-lama. Tetapi aku kemudian mendengar
tangisan seorang bocah. Maka aku segerakan shalatku karena aku tidak
ingin menyusahkan ibunya”. (HR. Bukhari).
Dalam sebuah riwayat dikisahkan, seorang pengemis dengan susah payah
datang memasuki Masjid Nabawi di Madinah. Sayang, ia hanya melihat
orang-orang melaksanakan shalat dengan khusyuk.
Didorong rasa lapar yang kuat, akhirnya ia meminta-minta kepada
orang-orang yang sedang shalat. Hasilnya nihil. Hampir putus asa, ia
mencoba menghampiri seseorang yang khusyuk melakukan rukuk. Kepadanya ia
minta belas kasihan. Ternyata kali ini ia berhasil. Orang itu
memberikan cincin besinya kepada pengemis itu.Tidak lama setelah itu,
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memasuki masjid. Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam melihat pengemis itu lalu mendekatinya dan
terjadilah percakapan :
"Adakah orang yang telah memberimu sedekah?"
"Ya, alhamdulillah."
"Siapa dia?"
"Orang yang sedang berdiri itu,'' kata si pengemis sambil menunjuk dengan jari tangannya."
"Dalam keadaan apa ia memberimu sedekah?"
"Sedang rukuk!"
"Ia adalah Ali bin Abi Thalib," kata nabi. Ia lalu mengumandangkan
takbir dan membacakan ayat, "Dan barang siapa yang mengambil Allah,
Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman menjadi penolongnya, maka
sesungguhnya pengikut (agama Allah) itulah yang pasti menang." (QS.
Al-Maidah: 56).
Dalam tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa kisah tersebut di atas
adalah faktor yang menjadi sebab turunnya ayat sebelumnya, yaitu
"Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang
yang beriman yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka
tunduk (kepada Allah)." (Al-Maidah: 55). Asbabun Nuzul ini juga
diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, Mujahid, dan Shufyan Ats-Tsauri.
Dalam kisah tersebut kita dapat melihat bagaimana nabi memberikan
penghargaan tinggi kepada Ali bin Abi Thalib karena tindakannya yang
terpuji. Bahkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjadikan tindakannya itu
sebagai sebab turunnya suatu ayat. Ali radhiallahu ‘anhu telah
membuktikan bahwa keshalihan dirinya bukan hanya pada taraf untuk
dirinya atau sebatas keshalihan ritual saja, tetapi ia wujudkan dalam
dimensi keshalihan yang lain, yaitu keshalihan sosial.
Penutup
Akhirnya, kaum muslimin saat ini mesti melangkah lebih progresif
membangun keshalihan sosial di atas keshalihan individu. Kedangkalan
aqidah, maraknya bid’ah dan khurafat sampai pada kemiskinan,
keterbelakangan, dan sejumlah krisis lain yang tengah menghimpit bangsa
kita tampaknya tidak cukup hanya diatasi dengan melakukan ibadah-ibadah
individual saja, tetapi juga dengan perjuangan meningkatkan kecerdasan,
penegakan hukum dan keadilan, solidaritas sosial dan membebaskan
penderitaan masyarakat.
Sejarah kehidupan generasi awal (salaf) umat ini memperlihatkan
kepada kita bahwa mereka tidak pernah melakukan dikotomisasi antara
ibadah individual dan ibadah sosial. Malam-malam mereka adalah
malam-malam yang khusyuk dalam sujud dan tilawah Al Qur’an, sementara
siang hari mereka adalah langkah-langkah gemuruh kaki kuda dan
kerja-kerja kemanusiaan. Seluruh perjuangan untuk mewujudkan tatanan
sosial yang adil dan menegakkan martabat kemanusiaan adalah ibadah,
pengabdian kepada Allah Azza Wa Jalla.
Wallahu A’lam.
[Dari berbagai sumber].
Biodata Ringkas Pengirim :
Azwar Iskandar, Alumni Sekolah Tinggi Akuntansi Negara
(STAN). E-Mail :
azwar.iskandar@gmail.comAlamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya.
. Web/Blog :
http://al-munir.com / http://azwariskandar.blogspot.com .